SANG PENJAGA
Ia masih terduduk nyaman dengan kepala yang bersandar pada kaca jendela, entah apa yang ia lihat, namun aku yakin ia memandang jauh keluar sana, ke tempat dimana hanya ia saja yang mengetahui itu. Satu bulan belakangan ini aku selalu memperhatikannya dan menyapanya setiapkali bertemu namun ia hanya menanggap dingin, seolah aku tidak pernah ada di dunianya.
Di jam istirahat kali ini pun, ia tak bergeming di tempatnya terduduk dan masih dengan suasana yang sama, sempat ku bertanya-tanya, Apa yang ia lakukan disana? mengapa tidak seperti siswa lain yang menghabiskan waktu istirahat diluar kelas? mengobrol, bercanda ria seperti wanita remaja pada umumnya, namun pertanyaan itu hanya tersimpan di dalam hatiku, aku tak pernah berani untuk bertanya seperti itu.
Kuberanikan diri untuk masuk ke ruang kelasnya, tak ada siapapun disana, hanya ada ia seorang diri dan kali ini aku menyapanya lagi. “Hai Re, liburan besok mu kemana?” sapaku dengan nada selembut mungkin.
“Gak kemana-mana!” sahutnya dingin, bahkan tak sedikitpun mengalihkan pandangannya padaku. Namun aku tak pernah sekalipun tersinggung karena sikapnya itu, justru aku malah semakin tertarik untuk mengenalnya lebih jauh lagi.
Aku terduduk disampingnya dengan ekspresi meminta izin, tak ada tanggapan sedikitpun, sejenak pandanganku mengarah pada sebuah buku novel di mejanya. Aku kembali bertanya. “Kamu suka baca novel? Besok aku mu ke toko buku, cari-cari buku novel, kamu mu ikut?”
“Gak!” jawabnya masih dengan ekspresi yang sama, dingin! mungkin sedingin bongkahan es dalam freezer.
“Mu titip buku? Nanti biar sekalian aku yang cariin!”
“Gak usah”
Aku hanya tersenyum kecil, sepertinya suasana ini mulai membuatnya tak nyaman, aku segera beranjak dari sampingnya sambil pamit padanya, “aku keluar dulu ya, oyah pulangnya aku anterin ya Re?”
Ia tak menjawab, aku hanya bisa berharap semoga itu artinya “Iya”, aku melanjutkan langkahku bersamaan dengan bunyi bel tanda usai istirahat. “Bye Re...” hanya itu basa-basiku yang terlintas saat aku keluar dari kelasnya.
#
Sepulangnya, aku masih menunggu di depan ruang kelasnya, berdiri bersandar pada tembok sambil melambaikan lenganku ke arah teman-teman sekelasku yang pulang terlebih dahulu, aku kembali melirik jam kecil di pergelangan tanganku, satu jam aku berdiri disini hanya untuk menunggu sebongkah es yang tak pernah mencair, memang sedikit ironis, namun rasa penasaranku padanya mengalahkan semua asumsiku, aku rasa semua orang pun begitu, siapa yang tak pernah tertarik pada rasa penasarannya sendiri?
Bel kedua berbunyi, tanda pulang bagi kelasnya, cekatan aku memperhatikan setiap siswa yang keluar dari ruang kelas itu namun tak sedikitpun pandanganku menemuinya, tak lama kemudian seseorang menepuk pundakku pelan. “Kak Aska nunggu siapa?” Tanya seorang siswa dibelakangku dan entah darimana ia mengetahui namaku.
Aku segera menyahut. “Nunggu Rere!”
“Rere udah pulang duluan Kak, dia izin ke guru sehabis istirahat tadi, katanya dia sakit!” ujarnya menjelaskan.
Aku sedikit tak percaya, aku segera masuk ke dalam ruang kelas itu, celingukan mencari-cari, namun tak ada siapapun disana, dengan berat aku harus mempercayai ucapan pria itu, tanpa berlama-lama, aku segera membalikan badanku sambil melirik sebaris nama di seragamnya. “Makasih ya, Raka!” pamitku canggung dengan nama itu.
Namun tak lama pria itu memanggilku lagi. “Kak Aska, tolong jagain Rere!” serunya, aku hanya mengangguk dan segera berlari ke arah motorku terparkir, cekatan aku menjalankan motorku ke satu arah yang satu-satunya ingin kutuju saat ini, tempat tinggal Rere.
Di setengah perjalanan, pandanganku mengarah pada sebuah toko buku, aku membalikan arah motorku, melaju ke arah toko buku itu. Entah apa yang membuatku ingin singgah di tempat ini, namun satu hal yang pasti, selama ini aku tak banyak mengetahui tentang Rere, aku hanya mengetahui ia sangat gemar membaca sebuah novel, dan inilah satu-satunya alasan aku membeli sebuah novel, entah apa judulnya, aku tak sempat memperhatikan itu, namun aku meraih buku itu di rak yang bertuliskan bestseller, aku hanya berharap ia suka dengan buku ini.
#
Cahaya kemerahan disudut langit sudah mulai memudar saat aku sampai di depan rumahnya. Kuakui kegelisahanku saat ini, kadang sedikit keringat dingin di dahiku terjatuh pada seragam sekolah yang masih kukenakan, namun aku tak peduli itu, pikiranku hanya mengarah pada keadaanya saat ini, lekas ku masuki gerbang rumahnya, melangkah pasti menuju teras depan rumahnya, belum sempat aku mengetuk, pintu depan itu bergerak, seseorang dari arah dalam membukanya.
Aku sedikit terkejut tak percaya, namun Rere yang melihatku ada di depan rumahnya lebih keheranan dengan keberadaanku “Ngapain kamu disini?” tanyanya.
“Kamu gak apa-apa kan Re?” aku balik bertanya.
Ia memalingkan wajahnya dariku. “Enggak!” sahutnya kembali seperti biasanya, sebagaimana bongkahan es yang tak pernah mencair.
“Tadi siang kamu kenapa? kamu sakit?” tanyaku khawatir.
Ia sempat tak bergeming sebelum ia berkata lantang. “Aku muak sama kamu, tolong jangan deketin aku lagi!”
Untuk pertama kalinya, aku belum pernah merasakan sesakit ini, kalimat itu seperti mencabik-cabik perasaanku. Mengapa ia tak pernah berkata itu dari dulu, dari saat pertama aku menyapanya, sehingga aku tak pernah merasakan sesak ini. Saat ini aku hanya ingin waktu cepat berlalu, agar aku tak berlama-lama dalam moment ini. Aku menjawab pelan. “Aku janji gak akan deketin kamu lagi, aku kesini cuma mau ngasih ini!” Aku memberikan bingkisan berisi sebuah buku yang kubeli tadi, “Aku pulang ya Re?” aku menatapnya dalam-dalam, mungkin suatu saat nanti aku tak akan pernah menatapnya seperti ini lagi.
#
Seterusnya setelah itu, aku menjalani hari-hari ku tanpa sedikit pun memperhatikannya dan sekarang aku mempunyai hobi baru, menjauh dari segala hal tentangnya, aku hanya ingin fokus pada mata pelajaranku dan seharusnya inilah yang kulakukan selama ini, memusatkan pikiranku pada ujian akhir minggu depan.
Waktu istirahat kali ini, aku membawa sebuah buku pelajaran dilenganku, berharap semua ingatanku tentangnya akan hilang dengan sendirinya, aku melangkah pasti menuju taman sekolah, meluangkan sedikit waktu hanya untuk mengisi pikiranku dengan mata pelajaran. Tak ada lagi nama itu, tak ada lagi wajah itu, tak ada lagi suara itu, aku mulai terbiasa dengan suasana ini.
Namun belum lama aku terduduk dibangku taman itu, seseorang terduduk disampingku, ia menatapku sambil tersenyum simpul seolah tidak ada yang pernah terjadi diantara kami sebelumnya, aku tercengang, bergumam dalam hati. “Kenapa kamu disini? Kenapa kamu datang lagi disaat aku hampir lupa semua hal tentang kamu”
Aku mulai risih dengan suasana ini, ia hanya terduduk santai disampingku, namun tak lama kemudian ia berkata. “bukunya bagus!”
Ucapan itu sedikit membuatku keheranan, aku menghubungkan ucapannya dengan buku pelajaran ku yang saat ini ku pegang. “Apanya yang bagus?” gumamku dalam hati sambil membolak-balik buku ku.
“Maksudnya, buku ini!” ia tersenyum mengolok sambil menyodorkan sebuah buku padaku, sepertinya aku ingat buku itu, aku memperhatikan bukunya dengan sungguh-sungguh sebelum ia kembali berkata. “Ini aku kembalikan!” ucapnya.
Aku tak berani menatapnya lama-lama, aku segera memalingkan pandanganku darinya sambil membalas pelan. “buku itu untuk kamu, jadi gak usah dibalikin” sahutku canggung.
Lama ia terdiam sebelum ia kembali berkata pelan. “Kamu, ngingetin aku sama seseorang” Ia menarik nafas berat sebelum meneruskan kembali ucapannya. “Sebelumnya, aku pernah mengenal seseorang, ia yang selalu ada di hatiku, bahkan sampai saat ini, mungkin kamu gak akan percaya ini?”
Cepat aku membalas. “Aku percaya!”
Ia tersenyum lagi, lalu melanjutkan ucapannya. “Sebulan yang lalu ia pergi dan sebelumnya dia ngasih sebuah buku, sama halnya seperti kamu, aku masih belum bisa ngelupainnya belakangan ini, lalu kamu datang dengan segela kecerewetan kamu” ia tersenyum kecil kearahku. “Dan suatu malam aku melihatnya diluar rumahku, saat kubukakan pintu depan, tak ada siapapun disana, hanya ada kamu dan buku ini”. Ia sejenak menarik nafas panjang. “Mulai sekarang aku akan coba ngelupainnya” ucapnya dengan suara bergetar.
Dari ucapannya aku menyimpulkan bahwa ternyata selama ini ia sudah mempunyai kekasih, aku sedikit simpatik akan keadaannya lalu aku membalas. “Sabar yah, aku yakin suatu saat nanti dia akan kembali untuk kamu”
Ia tertunduk lalu berkata lirih. “Dia udah meninggal, sebulan yang lalu dia kecelakaan”
Ucapannya kali ini seakan menggetarkan hatiku. Sekarang aku tahu mengapa ia sering menyendiri, Aku hanya terdiam, tak terbayang seberapa berat hari-hari yang telah dijalaninya. “Maaf...” hanya ucapan itu yang keluar dari mulutku.
Sorot mata lembut itu kembali menatapku “Kamu gausah minta maaf, aku yakin Raka disana akan senang melihat aku yang jarang melamun akhir-akhir ini”
Ia tersenyum manis lagi namun pikiranku langsung mengarah pada satu nama diucapannya. “Raka, teman sekelas kamu?” tanyaku.
Ia menggelengkan kepalanya. “Kamu tahu sendiri, belum lama aku bersekolah disini, aku tidak mempunyai teman satupun, mungkin cuma kamu aja yang aku tahu disekolah ini” jelasnya.
Nafasku rasanya tersekat mendengar kalimat itu, “jadi Raka—??”
Belum sempat kuteruskan kalimatku, ia langsung memotong. “Ya, Raka sudah pergi dan aku selalu menganggapnya masih ada, bahkan tadi aku masih bisa melihat sosoknya, berjalan menuju taman ini, namun tidak ada siapapun, selain kamu yang terduduk sendiri disini”
Batinku langsung tersentak, mengingat kejadian saat seorang siswa menepuk pundakku pelan di depan ruang kelasnya, mungkinkah itu Raka yang ia maksud? Aku masih menyimpan pertanyaan itu, saat ini aku hanya ingin menatapnya penuh kesungguhan dan aku berjanji dalam hati “Mulai saat ini aku akan berusaha menjaganya sebaik mungkin, sebagaimana janjiku pada Raka saat itu!”
_The End_