CERPEN "Dina dan Aku"

Dina dan Aku
Cerpen Karangan: Safira Pratiwi

Aku ingat saat usiaku 4 tahun. Saat itu Ibu mengajari aku dan Dina berhitung. Aku belajar menghitung jariku. Delapan, sembilan, sepuluh. Jumlah jariku ada sepuluh. Tapi saat itu Dina memarahiku.
“Hitunganmu salah. Jari kita hanya tujuh.” Katanya. Dia lalu mengacungkan tangan kecilnya dan kami menghitung bersama. Lima, enam, tujuh. Dina benar, jarinya hanya tujuh. Tapi setelah aku menghitung jariku sendiri, jumlahnya sepuluh. Aku bingung, kenapa bisa berbeda? Kami bertanya pada Ibu, tapi Ibu tidak menjawab. Kami akhirnya memutuskan untuk berhenti bertanya saat melihat Ibu menangis.
Aku juga ingat saat aku dan Dina sedang bermain bersama. Saat itu tiba-tiba Dina menarik-narik rambutku. Rasanya sakit, Dina menarik-narik rambutku sambil menangis kencang.
“Aku juga mau punya rambut. Aku juga mau!” Jeritnya. Benar-benar sakit, rasanya seperti rambutku akan tercabut dari akarnya. Dina baru berhenti menarik rambutku saat Ayah dan Ibu memisahkan kami dan berusaha menenangkan Dina yang menangis meraung-raung. Saat itu aku hanya memegangi kepalaku, berusaha berhenti menangis dan terus memperhatikan Dina yang masih menangis.
“Kenapa Dina tidak punya rambut? Kenapa?” Raungnya.
Hari pertamaku masuk sekolah. Aku sudah bilang pada Ibu aku hanya mau sekolah jika Dina juga ikut sekolah. Rasanya pasti beda kalau tidak ada Dina. Tapi saat itu Ibu dengan lembut mengelus kepalaku dan berkata.
“Dila sayang, kamu harus sekolah. Ibu sebenarnya juga sangat ingin menyekolahkan Dina. Tapi keadaan Dina tidak memungkinkan dia untuk pergi sekolah, sayang.” Akhirnya hari itu aku pergi ke sekolah sendirian. Ternyata sekolah menyenangkan, tapi entah kenapa di sekolah rasanya sangaaaaat lama. Rasanya aku ingin cepat-cepat pulang dan main bersama Dina.
Pulang sekolah, Ibu mengajak aku dan Dina ke supermaket mengendarai mobil bersama Ayah. Di mobil, aku bercerita banyak tentang sekolah pada Dina. Dina antusias sekali saat aku bercerita tentang teman baru, Ibu guru, dan apa yang ku pelajari di sekolah. Dia bilang dia iri padaku. Aku juga bercerita kalau aku dibelikan jepit rambut baru oleh Ibu, jepit rambut kupu-kupu warna biru dan sayapnya bisa bergerak. Dina tertawa saat itu.
“Ibu juga membelikan aku sesuatu.” Katanya sambil menunjuk kepalanya. Dina tersenyum lebar. Dia tampak manis dengan topi biru yang ada gambar kupu-kupunya.
“Kalau pakai ini, tidak ada yang tahu kalau aku tidak punya rambut.” Katanya girang.
Aku suka supermaket. Apalagi saat aku melihat banyak sekali jajanan enak yang dipajang. Biasanya aku akan berlari-lari ke sana kemari untuk mencari cokelat kesukaan aku dan Dina. Tapi Dina tidak pernah ikut aku berlari. Kaki Dina kecil dan tidak sama panjangnya, jadi dia hanya duduk diam di kursi rodanya dan menunjuk-nunjuk jajanan apa yang dia mau. Sejak kecil Dina sering sekali ke rumah sakit dan aku sering merengek-rengek ikut mengantar Dina ke rumah sakit padahal Ibu bilang anak kecil tidak boleh ke rumah sakit. Aku sering menemani, aku menemani Dina di rumah sakit. Kadang saat dia tidur, aku menggenggam tangannya dan bisa merasakan kalau tangan Dina sangat dingin. Seperti es.
“Kamu dan Dina. Kalian itu saudara kembar, kalian sudah bersama bahkan sejak dalam rahim.” Kata Ibu saat aku bertanya tentang keadaan Dina. Ibu bilang Dina sudah kena penyakit aneh.
“Bahkan sejak masih janin pun, kondisi Dina sudah aneh. Saat kalian lahir pun tubuh Dina jauh lebih kecil darimu. Kemungkinan Dina hidup juga sangat kecil, dia tidak menangis dan jantungnya melemah. Tapi ajaib, saat Dina ditidurkan di sampingmu, detak jantungnya jadi kuat. Dan perlahan dia menangis, keras sekali,” Kata Ibu. Matanya saat itu berkaca-kaca. Aku terdiam, aku mengerti perasaan Ibu.
“Aku tidak suka rumah sakit. Aku mau pulang, Dila.” Bisik Dina padaku suatu hari saat sedang di rumah sakit.
Wajah kurusnya sangat pucat dan bibirnya memutih. Dari matanya, dua bulir bening air mata mengalir. Aku langsung mengambil selembar kertas, lalu melipat-lipatnya sehingga menjadi origami bunga. Dina langsung tersenyum senang, tangisnya berhenti. Aku lalu bercerita tentang seorang temanku di sekolah yang mengajari cara membuat origami bunga. Itulah yang selalu ku lakukan saat Dina menangis, bercerita. Dina sangat suka jika aku bercerita. Wajahnya pasti langsung antusias penuh semangat. Dina selalu bilang kalau dia iri padaku. Dia selalu menganggap kalau akulah yang terbaik. Tapi itu tidak benar. Ada satu hal yang selalu membuatku iri pada Dina. Suaranya. Dina jarang menyanyi. Tapi kalau Dina menyanyi, waktu serasa terhenti. Udara di sekelilingku akan terasa sejuk, dan aku selalu merinding mendengar lirik lagu yang dilantunkan Dina.
Siang itu, seorang teman Ayah berkunjung. Dia mengelus kepalaku dan bilang kalau aku anak yang manis. Tapi ekspresinya berubah seketika saat melihat Dina. Wajahnya tampak kaget saat Ayah bilang kalau aku dan Dina adalah saudara kembar. Lalu teman Ayah menatap Dina dengan tatapan aneh. Tiba-tiba rasa benci tumbuh di hatiku, aku tidak suka jika ada yang menatap Dina seperti itu.
Malamnya, aku tidak bisa tidur. Jadi aku meminta untuk tidur bersama Dina di ranjangnya. Aku memang satu kamar dengan Dina, tapi kami memiliki ranjang masing-masing. Dina sudah terlelap, tapi tetap saja aku tidak bisa tidur. Aku hanya terdiam mengamati Dina. Tubuh Dina benar-benar kurus. Tulang-tulangnya tampak sangat menonjol. Rambut Dina sangat jarang bahkan nyaris tidak ada. Tiba-tiba aku merasakan air mataku mengalir. Aku sedih, aku sedih melihat Dina yang tidak bisa sekolah, aku sedih melihat jari Dina yang hanya ada tujuh, aku sedih melihat kaki Dina yang panjang sebelah. Kami saudara kembar, kan? Tapi kenapa kami berbeda?
Aku menyentuh lengan Dina perlahan. Aku takut jika menyentuhnya terlalu kencang, Dina akan hancur seketika. Dia tampak benar-benar rapuh di mataku. Aku mendekatkan tubuhku ke tubuh Dina yang super kurus. Wajah Dina benar-benar damai dalam tidurnya. Dan malam itu, setelah aku menggenggam tangan Dina rasa kantukku datang. Aku terlelap di samping saudarku tersayang, Dina.
“Dila, mau melihat Dina?” Kata sebuah suara. Aku terlonjak kaget. Itu suara Ibu, dia menyentuh pundakku pelan. Aku berbalik dan mendapati wajah Ibuku sembab, air mata mengalir deras di pipinya. Jantungku berdetak dua kali lebih cepat. Kenapa Ibu menangis?
“Ayo, nak. Dina mencari kamu.” Kata Ibu sambil menarik tanganku. Aku sudah duduk di ruang tunggu rumah sakit sejak tadi. Ternyata sejak tadi aku melamun mengingat tentang Dina dan tidak sadar aku menangis. Sudah tiga hari Dina masuk rumah sakit dan akhirnya dia sadar juga.
Aku berjalan masuk ke ruangan Dina. Ingatanku melayang lagi, teringat wajah Dina sebelum masuk rumah sakit. Pagi itu wajah Dina seputih kertas dan tidak sadarkan diri. Aku takut, takut terjadi sesuatu pada Dina. Aku menggeleng, berusaha mengusir jauh-jauh pikiran jelekku. Dina baik-baik saja, dia akan segera ke luar dari rumah sakit seperti biasanya dan pulang ke rumah. Aku melihat tubuh Dina yang terbaring kaku. Di sampingnya ada Ayah yang sedang memeluk Dina. Aku terlonjak, seumur hidup aku baru pertama kali melihat Ayah menangis. Dina tersenyum melihatku datang. Aku berlari, memeluk Dina dan menumpahkan semua air mataku. Syukurlah, syukurlah. Dina sudah bangun. Aku duduk di samping Dina dan Dina menggenggam erat tanganku.
“Kamu harus buat KTP.” Kata Dina tiba-tiba. Suaranya yang serak terdengar sangat lemah. Aku menatapnya, tidak mengerti apa maksud Dina.
“Lupa ya? Ini kan hari ulang tahun kita. Yang ke-17!” Serunya. Aku tertawa. Dina benar, aku sampai lupa. Justru Dina yang ingat hal seperti ini.
“Kalau begitu Dina juga harus buat KTP. Dina harus cepat ke luar dari rumah sakit, supaya bisa ikut membuat KTP.” Jawabku. Tapi Dina menggeleng. Tatapannya sayu.
“Aku tidak akan pernah membuat KTP.”
“Kenapa? Kan sudah 17 tahun?”
“Aku 17 tahun hari ini. Aku bersyukur, Dila, sangat bersyukur. Dengan kondisi begini aku sanggup bertahan 17 tahun lamanya. Dila aku mau minta sesuatu. Tetaplah jadi anak yang periang. Jagalah Ayah dan Ibu, jangan pernah melawan. Aku juga minta maaf, aku tahu kesalahanku sangat banyak. Jadi tolong, tolong maafkan aku.” Kata Dina. Tatapannya tenang.
Aku tidak sanggup berkata apapun. Aku tidak suka Dina berbicara begitu. Aku ingin bilang, Dina akan baik-baik saja, Dina akan pulang bersamaku. Tapi suaraku seperti tertahan di tenggorokan dan tak mau ke luar. Aku mendengar Dina mendengus. Napasnya berat, jantungku serasa berhenti saat mendengarnya mengambil napas panjang lalu menghembusnya. Hembusan napas terakhir Dina. Yang selanjutnya, aku hanya samar mengingatnya. Bunyi alat kedokteran, tangisan Ayah dan Ibu. Aku ditarik ke luar ruangan dan aku merasa semua yang ada berputar lalu gelap seketika.
Hari ini, Ibu melingkarkan selendang hitam di leherku. Pakaianku juga sama, hitam, semuanya hitam. Hari ini, Dina ke luar dari rumah sakit. Tapi dia tidak pulang ke rumah, dia malah pergi. Dan aku tahu perginya tidak akan kembali. Aku merasa kosong, dan hanya bisa menatap gundukan tanah merah di depanku. Saudaraku, Dinaku tersayang ada di dalamnya. Kenapa kau di sana, Dina? Pikiranku mengawang-awang. Ini mudah, aku hanya tinggal menggali tanah merah itu dan membawa Dina pulang. Tapi tubuhku melawan tak mau bergerak. Aku memang tolol. Malamnya, aku tak bisa tidur lagi. Dan parahnya tidak ada yang bisa kugenggam tangannya malam itu. Dina sudah mati. Itu kata orang-orang. Tapi percayalah padaku, Dina masih di sini. Dia masih duduk di kursi rodanya dan menantiku untuk bercerita lagi. Kadang juga Dina menyanyi, aku bersumpah suara indahnya mengalun jelas di telingaku. Dina masih ada, Dina masih hidup. Dia ada di sini, di dalam hatiku.
Tiga tahun lamanya. Aku meletakkan setangkai mawar di pusara Dina. Seperti biasa, Dina selalu menungguku bercerita.
“Dina, aku datang. Aku baru pulang kerja loh! Aku punya kabar gembira. Aku sudah cerita kan kalau Ibu hamil? Kata dokter, Ibu akan melahirkan dalam minggu-minggu ini. Aku sangat senang , Dina. Kira-kira Adik kita laki-laki atau perempuan ya?” Kataku. Aku bisa merasa Dina tersenyum sekarang.
Tiba-tiba ponselku berdering. Aku terlonjak saat Ayahku menelepon.
“Dila, cepat ke rumah sakit! Ibu melahirkan!” Suara Ayah di telepon sangat kencang. Dia terdengar sangat panik. Aku pamit pada Dina, “Adik kita mau datang!” teriakku.
Dan di sini aku, menggigit-gigit jariku tidak tenang. Sedangkan Ayah mondar-mandir panik di depan ruang bersalin ini. Tiba-tiba dokter ke luar dan aku mendengar suara tangisan bayi. Ayah bicara sebentar dengan dokter. Dokter bilang Ibu melahirkan dengan selamat. Dia juga bilang Adikku perempuan dan sangat cantik. Aku segera merangsak masuk ke ruang bersalin. Itu Adikku, Di pelukan Ibuku! Aku menatap tubuh kecilnya. Aku bersumpah, adik perempuanku ini cantiknya seperti boneka. Tiba-tiba Adikku tersenyum, mata indahnya terbuka. Jantungku berdegup. Aku kenal mata itu. Aku kenal senyum itu.
Aku maju perlahan dan mengecup Adik bayiku. Tidak terasa air mataku mengalir. Mata besarnya, senyum manisnya, mirip dengan yang Dina miliki. Mirip sekali.
“Kamu pulang. Aku tahu, kau tidak akan pernah meninggalkan aku.” Gumamku dalam hati.
“Dina..” bisikku.
Cerpen Karangan: Safira Pratiwi


Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama